email address: taxart.consult@gmail.com

Kamis, 19 Mei 2011

Dirjen Pajak Incar UMKM : Harus Bagaimana?

Berita dari Kontan Online tanggal 18 Maret 2010 yang lalu memberitakan bahwa mulai tahun 2010 ini Dirjen Pajak akan mulai mengejar kepatuhan pembayaran pajak dari pelaku usaha mikro, kecil dan menengah atau lebih akrab disebut UMKM. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Hartoyo selaku Direktur Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak. Lantas pertanyaannya: bagaimana para pelaku usaha UMKM ini harus menyikapi program ini?


Yang pertama harus dilakukan adalah kita mesti tahu terlebih dahulu yang dimaksud UMKM itu apa? Di mata pajak usaha yang termasuk dalam kategori UMKM adalah kalau Peredaran Bruto (Omzet) perusahaan kurang dari Rp 50 miliar. Kalau omzet suatu perusahaan termasuk dalam kriteria itu, maka pemerintah akan memberikan fasilitas berupa pengurangan tarif pajak penghasilan sebesar 50%. Pengurangan itu berlaku untuk Penghasilan Kena Pajak (hampir sama dengan laba bersih) dari omzet sampai dengan 4,8 miliar perak.

Masalahnya kemudian adalah masih banyak atau boleh dibilang teman-teman kita yang bergerak di UMKM ini belum memahami secara benar masalah perpajakan. Setiap kali bertransaksi dengan pihak lain belum tentu mereka peduli dengan aspek-aspek perpajakannya. Kerap kali mereka tidak tahu mana transaksi yang harus dipungut PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atau harus dipotong PPh (Pajak Penghasilan) pasal 23 atau Pajak Penghasilan Final lainnya. 


Ini hanya sekedar contoh saja. Masih beruntung kalau teman-teman ini mendapatkan lawan transaksi yang mau menanggung aspek pajaknya atau istilah umumnya ‘terima bersih’. Takutnya apa, tidak jarang customer-customer UMKM (terutama perusahaan besar) sudah mulai tidak mau lagi bertransaksi dengan cara ‘terima bersih’. Artinya aspek pemotongan pajak akan tetap dibebankan kepada pemberi jasa (dalam hal ini UMKM). Bisa-bisa ini berdampak pada arus kas UMKM atau bahkan kerugian secara komersial.
 

Jadi harus bagaimana antisipasinya? 


Menurut saya yang pertama dan utama UMKM mesti punya NPWP, sebab kalau tidak memiliki NPWP bisa kena potong PPh lebih tinggi 100%. Artinya kalau dari suatu transaksi seharusnya hanya dipotong 2% gara-gara tidak punya NPWP jadinya dipotong 4%. Padahal kalau tidak ber-NPWP artinya tidak bisa memanfaatkan bukti potong pajaknya. Artinya malah jadi beban tambahan bagi perusahaan. Sayang sekali bukan?

Yang kedua sebaiknya UMKM bisa tertib administrasi. Syukur-syukur bisa dilakukan pencatatan dan pembukuan. Masalah administrasi ini masalah sepele tapi suka ribet. Yang invoice ilanglah atau kwitansi terselip entah di mana, dsb. Umum terjadi, namanya juga UMKM. Tapi maksud sebenarnya adalah kalau UMKM bisa tertib administrasi akan mempermudah menghitung  laba rugi usahanya secara lebih akurat. 

Kemudian yang terakhir adalah UMKM harus mewaspadai kapan omzetnya sudah mencapai Rp 600 juta, karena itu pertanda UMKM harus sudah menjadi PKP (Pengusaha Kena Pajak) yaitu wajib memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) setiap kali bertransaksi.  

Jadi berhati-hatilah dalam bernegosiasi dengan calon customer. Jangan sampai salah perhitungan karena ada potongan pajak (withholding tax) sekaligus harga tetep kompetitif. Selamat berusaha!  @

Tidak ada komentar:

Posting Komentar