email address: taxart.consult@gmail.com

Selasa, 24 Mei 2011

KETIKA WARTEG DIANGGAP PUNYA NILAI TAMBAH

Membaca berita di Tempo Interaktif hari ini, mulai 1 Januari 2011 hidangan di warteg akan dikenai Pajak Restoran dan Rumah Makan mengacu pada Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, demikian dikatakan oleh Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta Arif Susilo, hari ini. Targetnya, Pemda DKI akan memperoleh tambahan pajak sebesar Rp 50 milyar setahun.

Memang dalam UU tentang pajak daerah dan restribusi tersebut menyebutkan bahwa usaha penyedia makanan dan minuman yang memiliki penghasilan Rp 60 juta per tahun termasuk sebagai wajib pajak. Sehingga makanan dan minuman yang disediakannya menjadi objek pajak atas tarif 10%. Namun berapakah sebenarnya tambahan pajak yang bisa diperoleh dari peraturan tersebut?

Apabila kita ambil batas minimum pendapatan yang wajib dikenakan pajak yaitu Rp 60 juta setahun maka:
Pendapatan setahun               = Rp 60.000.000,00
Pajak Daerah 10%                     = Rp   6.000.000,00
Jumlah warteg                            =                2.000 warteg
Income dari pajak setahun   = Rp 12.000.000,00
Rasanya angka tersebut masih jauh dari target pemda yang mematok Rp 50 milyar setahun.


Atau kalau kita coba balik perhitungannya:
Pengunjung warteg per hari              =                     50 orang
Harga jual rata-rata                                = Rp           5.000,00
Penjualan sehari                                    = Rp       250.000,00
Penjualan sebulan                                = Rp    7.500.000,00
Penghasilan setahun                           = Rp 90.000.000,00
Jumlah warteg                                        =                  2.000 warteg
Income dari pajak setahun                = Rp 18.000.000,00
Hitungan inipun masih belum mencapai target yang diharapkan oleh pemda.


Pertanyaan sebenarnya adalah kenapa sih pemda DKI begitu repotnya mengejar pedagang warung gurem kelas warteg seperti ini? Pertambahan pajaknya pun tidak signifikan. Kalaupun dipaksakan untuk dikenai pajak, artinya harga jual makanan warteg akan naik sebesar 10%. Fungsi sosial warteg akan te-reduksi lantaran pajak daerah ini.

Sebagaimana kita ketahui, konsumen warteg sebagian besar adalah masyarakat kelas bawah mulai dari buruh, karyawan kecil, hingga kuli panggul pasar. Bisakah kita membayangkan penghasilan mereka akan naik 10% tahun ini? Tentu saja kenaikan harga ini akan menimbulkan dampak secara langsung kepada konsumen akhir.

Pemda mestinya bisa arif juga, selama ini warteg begitu besar perannya di kalangan masyarakat kelas bawah. Dan 'pengusaha' warteg sendiri juga kebanyakan dari masyarakat awam. Mereka yang tidak bermodal dan berpendidikan tinggi tentu tidak bisa berbisnis restoran, makanya warteg ada. Sekali lagi, kalau mereka ini hendak dipungut pajak artinya pemda mesti mengurus perijinan mereka terkebih dahulu. Dan pajak baru akan bisa dikenakan setelah warteg berbadan hukum. Mau berapa lama dan berapa besar effort untuk mencapai itu semua?

Mungkin tidak salah kalau pejabat pemda berpikiran kalau selama ini banyak pengusaha warteg yang hidupnya sudah mapan. Kalaupun mereka mapan tentu saja penghasilan mereka akan menjadi objek PPh pasal 21. Apalagi pemerintah pusat sudah menggalakkan intensifikasi NPWP bagi masyarakat yang belum memilikinya. Apa bedanya? Toh sama-sama uangnya masuk ke kantong negara, hanya bedanya satu di daerah langsung sedangkan satunya lewat pusat terlebih dahulu.

Perlu disadari di sini bahwa pajak restoran itu setara dengan PPN tarifnya 10% dan sama-sama memiliki karakter sebagai pajak langsung. Artinya kalau pemerintah memungut pajak ini, pengusaha tidak akan menanggungnya melainkan akan langsung membebankan kepada konsumen akhir. Ujung-ujungnya harga harus naik. Dan kalau uang mepet, konsumsi diturunkan. Bukan begitu?

Sangat bisa dipahami kalau pajak restoran ini diterapkan kepada penyedia makanan yang bertebaran di mal-mal di seluruh DKI. Kalau membandingkan sekilas, secara kasar saja, angka omzetnya akan sangat fantastis bedanya. Angka penjualan warteg yang 2.000 warung itu hanya setara dengan omzet 1 (satu) restoran di mal. Dan bisa dipastikan pemilik rumah makan di mal adalah orang yang melek hukum. Effort lebih sedikit, pendapatan pajak lebih besar. Apa ruginya buat pemda?

Saya hanya khawatir, karena pemilik warteg adalah orang awam, mereka akan begitu takutnya berhadapan dengan para petugas pajak dari daerah. Sehingga daripada harus membayar 10% dari omzet yang belum dikurangi dengan harga pokoknya itu, maka mereka akan memelas-melas meminta 'kebijaksanaan' petugas. Lantas kalau sudah demikian, ujungnya bisa ditebak ke arah mana.@         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar